Tulisan ini kutujukan untuk diriku sendiri, sekaligus menjadi pengingat bagi teman-teman yang telah diakui oleh pemerintah sebagai Guru Penggerak.
Beberapa tahun terakhir, aku mulai menyadari adanya stigma halus yang kadang muncul dalam pikiran maupun tindakanku ketika terlibat dalam berbagai kegiatan komunitas Guru Penggerak. Mungkin hal ini juga dirasakan oleh sebagian teman-teman lain yang kini aktif berkiprah, berbagi praktik baik, dan menjadi penggerak di sekolah maupun komunitas.
Hal yang manusiawi, memang, ketika seseorang berada pada titik pencapaian tertentu — apalagi setelah melalui proses panjang dan tidak mudah — muncul rasa bangga yang berlebihan, bahkan tanpa disadari berubah menjadi perasaan “lebih baik” dari orang lain. Dalam konteks ini, terkadang muncul bisikan kecil di hati, “Saya lebih baik, karena sudah menjadi Guru Penggerak…”
Namun kemudian aku tersadar—bahwa hakikat seorang Guru Penggerak sejati adalah tetap memiliki prinsip “gelas kosong”: terus belajar, terus tumbuh, dan tidak pernah merasa penuh.
Guru Penggerak Sejati Selalu Siap Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat
Dalam beberapa pertemuan dan diskusi, aku mendapati bahwa terkadang aku kurang memberi ruang bagi gagasan atau pandangan dari rekan guru yang bukan lulusan Program Guru Penggerak. Ada saat di mana aku merasa “kotak ilmuku” sudah penuh, sehingga sulit menerima ide-ide baru dari orang lain.
Padahal, tanpa kusadari, sikap seperti ini justru membuatku kecil di hadapan Tuhan dan sesama. Kotak ilmu yang tertutup tak akan bertambah isinya, sementara kotak ilmu orang lain bisa jadi dua kali lipat lebih besar—karena mereka memilih untuk tetap terbuka.
Aku pun teringat kembali pada salah satu semangat utama dari program Pendidikan Guru Penggerak: yaitu menjadikan guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berjiwa pembelajar sepanjang hayat.
Artinya, seorang Guru Penggerak selalu berupaya mengembangkan diri, berinovasi, merefleksi tindakan, serta mengevaluasi hasil kerja demi perbaikan yang berkelanjutan.
Wajar bila manusia ingin terus tumbuh dan mencapai posisi yang lebih baik setiap harinya. Namun, perlu disadari bahwa setiap orang memiliki garis waktu dan momentum yang berbeda.
Ambisi untuk naik jabatan bukanlah hal yang salah, asalkan tidak mengaburkan niat awal menjadi seorang Guru Penggerak: yakni menggerakkan ekosistem pendidikan dengan hati yang tulus.
Jika ambisi itu terlalu menguasai, maka nilai luhur yang kita perjuangkan bisa terkikis, dan semangat pengabdian berubah menjadi sekadar perlombaan kedudukan.
Kini, setelah menempuh perjalanan panjang selama 9 bulan pendidikan Guru Penggerak Angkatan 2 Kabupaten Bulukumba, aku merenung bahwa proses ini bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab besar untuk terus menjaga nilai dan ruh dari gerakan ini.
Semoga refleksi ini menjadi pengingat bagiku dan bagi siapa pun yang telah diberi amanah sebagai Guru Penggerak, agar tetap rendah hati, terbuka pada pembelajaran, dan setia pada niat awal: menjadi pemimpin pembelajaran yang menggerakkan, bukan yang digerakkan oleh ambisi.
Terima kasih telah membaca refleksi ini.
Salam dan Bahagia,
Riswan Wahab
Tinggalkan Komentar